manusia-manusia di gerbong kereta -12

GoodWhiteCockatoo-size_restricted

pict. google

 

 

“apa masih lama?”

aku terdiam, karena aku pun lupa definisi lama. tak tepat rasanya jika kilometer atau detik dan menit menjadi satuan yang mewakili kata lama. bukankah semua serba relatif, sekarang?

gerbong yang kutumpangi nampak masih baru. hening. bahkan suara dengkur halus pun tak terdengar sama sekali. taklagi ada obrolan sepanjang malam, juga pose tegak sepenuh badan.

aku sudah mulai bosan menghitung detak detik sepanjang perjalanan, dan memilih tak menjawab pertanyaanmu.

“kau juga tahu, aku tak mampu menjawabnya. atau lebih tepatnya lagi, aku pun punya pertanyaan yang sama.”

tentu kalimat itu tak kuzahirkan. aku sedang malas bicara. meladeni tanyamu sama artinya dengan memeras otak yang terasa overload ini.

“sebenarnya di mana ujung perjalanan ini?”

kuserahkan tiket yang bertuliskan nama kota lengkap dengan jam kedatangan. kau balik menoyorku.

“sabar saja, bentar lagi sampai ko. kau lihat bulan itu, tadi di timur sekarang sudah beralih ke barat.”

aku pura-pura memejam. sepenuh hati berdoa agar bangku sebelahku kosong, ternyata ada dia yang entah sudah berapa tahun tak bertemu tiba-tiba hadir di sebelahku. dulu penampilannya nyentrik, tapi sekarang jilbab panjang semakin membuatnya makin nyentrik. meski tak mengurangi sisi menyebalkannya buatku.

“mungkin ini yang namanya jodoh, kan? kita gak tahu ke mana, di mana, tahutahu malah sebangku. meski kuyakin kau pasti berharap ketemu jodoh dunia akhiratmu, kan? ahaha..”

dia kembali mengusikku. kali ini dengan tawa yang keras, seolah hanya ada kami berdua di gerbong itu.

“hei..!” aku hanya melotot, sembari celingukan khawatir orang-orang bangun dari tidur.

“kau harusnya berubah, seperti tampilanmu itu. nyatanya tawamu masih sama, nada suara, dan segala tanya menyelidikmu,” aku berkata sengit.

“lalu bagaimana denganmu? rambutmu masih mirip lelaki, tatap matamu juga masih menyelidik, gesture-mu terlihat masih sangat insecure,” dia berkata telak.

“dan kamu masih saja sok tahu. perubahan gakselalu terlihat dari luar kan? tahu apa kamu tentang isi hatiku?”

“memang benar, tapi kalau kita belum bisa berdamai dengan keharusan yang terlihat oleh mata, lalu apa kabar yang takdapat terawasi langsung? kamu takut penilaian manusia kan? sementara kau yakin Allah Mahabaik dan berkeyakinan Ia Maha Pemaaf? lalu alasan apa yang kelak akan kau gunakan untuk jeda waktu yang terus kau tawar pada-Nya? Allah sangat baik, tapi ternyata kau yang takcukup baik menerima segala kebaikan-Nya.”

aku terdiam. purapura memejam lagi. perkataannya makin menyebalkan.

“apa masih lama?” giliran aku yang bertanya.

“sebentar lagi. makanya jangan purapura tertidur dan lupa segalanya. Allah takkan pernah bosan menunggu, hingga batas usia kita..”

“woi, stasiunnya! masih lama enggak?” aku menoyornya.

“stasiunnya, bentar lagi. tapi ujung perjalanan ini bahkan bisa berakhir kurang dari sebentar lagi. selamat tahun baru, Allah menyayangimu lebih dari batas yang pernah terbayangkan olehmu.”

dia pergi begitu saja. menuju bangku sebelah yang kosong dan memilih terpejam di sana. giliran aku yang tertegun.

“selamat tahun baru aku,” kurapatkan jaketku, kupakai tudungnya.  aku bermohon sungguh, semoga aku tak terlambat menyambut-Nya di ujung perjalanan.

 

 

 

 

 

selamat tahun baru, kamu. sudah hari ke sebelas. kebaikan apa yang bertambah, kebiasaan buruk apa yang berkurang?
bdg, 30/8_22.30