untuk sepasang sahabat

 

ini adalah bilik kita, sesaat sebelum pekat menyergap

tempat membincang tawa-lara hingga kredo yang tersamar ego

bulan yang separuh tampak berontak saat awan mengajaknya berpelukan.

sementara hujan di ujung kota mengabarkan ada detak yang melaju semakin cepat.

 

: ia menanyakanmu.

rumpun bambu yang membuatnya terbuai oleh alun suara gesek dedaun.

: ia menyemat harap padamu.

bening oase di luasan gersang sahara jiwa

 

aah, mengapa kau hanya mengulum senyum?

teduh nan mengaduh.

seumpama pohon jati yang melolosi satusatu daun di pertengahan tahun.

bukankah Jogja adalah hadiah? kataku

tentang kenang yang menggenang dan kehangatan yang beriringan

tak perlu menghitung pekan yang melipat pertemuan

atau mengeja almanak, memungut hari yang terserak

biarkan ianya mengendap indah

pada meriah titah yang diserukan

 

djogja 16.24

(untukNya. untukmu. untukmu. untukku,)